"dimana?"
Aku menatap pesan singkat itu dengan gusar. Abaikan saja, abaikan saja; suara di kepalaku berteriak memerintah. Aku menurut, dan kembali berfokus pada pemandangan di depanku. Deretan kendaraan membanjir. Desing klakson dan umpatan kesal pengendara menjadi satu dengan udara terik siang itu. Macet. Ya, Polaris dan kemacetan memang seperti bayi dan botol susu. Tidak bisa dipisahkan.
Sudah 40 menit lebih aku terjebak di mobil ini. Di sebelah kiriku, seorang gadis berambut lurus, berusia sekitar 15 tahun, duduk manis dengan tatapan bersemangat yang berpendar ke segala arah. Sebelah tangannya memeluk sebuah tas punggung berwarna cokelat tua. Tatapan antusiasnya mengamati hiruk pikuk di sekitarnya berbanding terbalik dengan keadaanku yang sudah porak poranda; kemeja lusuh, rambut berantakan, dan berkali melirik jam tangan serta mengecek telepon seluler yang tergeletak di dashboard mobil.
Namanya Lili. Keponakan bos-ku. Perintah dadakan untuk menjemputnya siang ini di stasiun kereta menghancurkan rencanaku menemani Kin, wanitaku. Aku masih terus mengabaikannya sampai kulihat ia meraih buku catatan kecil dari dalam tasnya dan menulis sesuatu yang kemudian ia berikan kepadaku
kak Andro bosan ya?
Aku menatapnya bingung. Anak ini mengajakku bermain surat-suratan, atau bagaimana?
Aku hanya mengangguk. Lalu ia mengeluarkan sesuatu lagi dari dalam tasnya. Sebuah buku. Tangan kurusnya menyerahkan buku itu kepadaku. Ia menatapku dengan senyum. Melihat tatapanku yang semakin bingung, ia menulis lagi di buku catatan kecilnya
baca aja kak. Biar ga bosen =)
Aku mengerti. Dia hanya mau menghiburku. Aku mengembalikan buku itu sambil menggeleng. “kakak kan harus nyetir”, ujarku.
Lili menolak pengembalian buku itu.
Aku terdiam. mana bisa membaca dalam keadaan seperti ini?
Aku meraih buku catatan kecil itu dari tangannya, dan mulai menulis:
Lili ga bosen?
Dengan bersemangat, Lili menulis lagi
ga. Lili kangen Polaris. Lili suka sekarang Polaris makin rame.
Mobil di depanku bergerak maju. Aku menjalankan mobilku. Baru beberapa detik, mobilku kembali terhenti. Suara klakson nyalang mengamuk dari berbagai penjuru. Aku menengok ke arah buku yang Lili berikan. Kuamati dengan seksama resensi yang tertulis di sampul belakangnya. Sebuah cerita detektif. Aku mengambil buku catatan Lili lagi dan menulis
Lili suka baca ya?
bangeeett
buku apa aja?
apapuun
Aku merasa terganggu dengan cara kami saling menyerahkan buku catatan itu. Maka aku merogoh kantong celanaku. Sebuah kertas tagihan berukuran cukup besar dan pena yang terselip di saku kemejaku kujadikan mediaku untuk menulis.
Sebelum aku mulai menulis, Lili menunjukkan tulisannya padaku
kak Andro suka baca?
Biasa aja. Ga segitunya
yahhh kenapa? Baca buku itu asik tau kaaak! Banget banget banget!
Aku menatapnya dengan pandangan meragukan. Ia mengerti maksudku dan menulis lagi
Emang kakak sukanya apa aja?
Banyak sih. Main futsal, dengerin music, main gitar, makan sate, nonton dvd, dll
kakak percaya ga kalo kakak bisa ngelakuin semua itu hanya dengan baca buku?
Aku menatapnya terkejut. Lalu menggeleng.
Aku melihatnya asik menulis. Panjang sekali. Saat itu aku melihat mobil di depanku kembali bergerak. Aku melajukan mobilku pelan. Lima menit kemudian, aku kembali berhenti. Aku mendengus kesal sambil meremas kerah kemejaku. Kuambil lagi telepon genggam yang ku-silent total sejak tadi. Sepuluh sms masuk dan 8 panggilan tak terjawab. Semua dari Kin. Aku hanya menatapnya nanar, dan melemparkannya kembali ke atas dashboard. Aku baru setengah meremas kepalaku ketika jari Lili mencolek lenganku. Kubaca tulisannya
baca buku itu kayak main futsal. Bahkan kayak semua olahraga di dunia. Bisa bikin kita sehat… yah, secara mental setidaknya, karna kita banyak dapet asupan pelajaran2 baru dari sebuah kisah cerita. Kita jadi punya cara pandang yang luas. Baca buku juga kayak dengerin music, selalu ada nada indah menenangkan dari sana. Nadanya juga ga itu itu aja, variatif dan bikin kita bisa terbuai. Baca buku kayak main gitar. Selalu ada kunci-kunci melodi yang bikin kita penasaran dan mau coba lagi lagi dan lagi. Apalagi setelah kita tau hasilnya jadi sebuah alunan yang indah. Baca buku juga kayak makan sate; bikin kenyang, rasanya nagih kayak bumbu sate. Gurih. Dan kayak sate yang meski disajiin satu tusuk, yang dimakan satu potong satu potong biar kerasa enaknya; baca buku juga ga sekaligus tapi harus pelanpelan biar dapet maknanya. Baca buku juga kayak nonton dvd. Kita bisa liat berbagai tokoh, berbagai kisah. Kita bisa kebawa suasana sampe serasa kitalah tokoh utamanya. Dan itu semacam cara menyenangkan untuk kabur bentar dari dunia nyata kan ya, kak? hhaha
Aku tertegun. Tulisan sepanjang itu kubaca lagi berkali-kali. Aku kehabisan katakata untuk menjawabnya. Llili menulis lagi. Aku menunggunya sambil mengambil buku yang Lili berikan kepadaku tadi. Aku membuka halaman pertamanya, merasakan wangi kapur barus menyeruak dari lembar-lembarnya yang kusibak. Tak lama kemudian, sebuah tulisan panjang kembali diperlihatkan Lili padaku
Buku itu kayak surga, kak. Surga kan tempat dimana kita bisa nemu apapun yang kita suka. Surga tempat yang indah, damai, penuh kejutan. Yang isinya ga monoton kayak dunia. Saat baca buku, kita kayak lagi main di surga. Di tempat yang membuat kita bisa lupa dunia nyata. Di tempat dimana imajinasi kita dimanjain. Di tempat dimana kita bisa begitu betah, lupa waktu, sampai ga mau lagi pulang sebelum petualangannya selesai. Buat Lili, buku satusatunya cara Lili mendengar dunia…
Aku menatapnya lurus-lurus dengan takjub. Aku mengambil buku cerita detektif itu dan mulai membacanya. Aku terlarut. Ya, dalam hitungan menit saja. Hanya suara amukan klakson di belakangkulah yang menyadarkanku untuk kembali menyetir.
Satu jam kemudian, akhirnya aku tiba di rumah bos-ku. Sebelum turun, Lili menulis lagi
pinjem aja dulu bukunya kak
Aku mengangguk. Ketika akan berpamitan, bos menghampiriku dan menepuk pundakku pelan
“Makasih, Ndro. Lili kayaknya seneng tuh ketemu kamu. Kamu bisa bahasa isyarat ya?” tanyanya. Aku tidak mengerti
“bahasa isyarat gimana maksudnya, Pak?”
“Ya bahasa tuna rungu. Lili kan ndak bisa denger sama ndak bisa ngomong dari lahir”
Aku terdiam. Lama sekali. Bagaimana bisa, gadis yang menceramahiku tentang keindahan surga buku adalah seorang… tuna rungu?
Buku satu-satunya cara Lili mendengar dunia
Aku mengerti sekarang. Mengerti bagaimana sebuah buku bisa menjadi surga bagi sosok Llili yang tidak pernah bisa mendengar dan bicara. Baginya, hanya buku yang bisa menemaninya tanpa harus mendengar, tanpa harus bicara
Aku meraih telepon genggamku dan menelepon Kin. Aku tahu hadiah apa yang akan aku berikan untuknya sebagai permintaan maaf.
Ya, buku.
-------------------------
ditulis untuk mengikuti lomba surgabuku 1st birthday giveaway oleh blog surgabuku
saya memilih Paket A ~Philosophy~ Dunia Sophie, Mizan Gold Edition (Jostein Gaarder)
Terimakasihh =)
salam bacabuku \(^,^)/
Selengkapnya...
Sabtu, 12 November 2011
surga buku
Langganan:
Postingan (Atom)